Selasa, 29 Januari 2019

Manajemen Aktivis Muda

Segala sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Sesuatu yang kecil dimulai dari sesuatu yang lebih kecil. Sesuatu yang lebih kecil dimulai dari sesuatu yang lebih kecil lagi. Pasti udah bosen pake banget, kan denger begituan? Ya saya juga, sih. Tau nggak kenapa kita bisa bosen? Karena kita belum ngelakuin. Percaya deh, gaes. Kalau udah ngelakuin pasti kita malah pengen banget ngomong begituan.

Ayo mulai bergerak, gan. Tinggal bergerak aja kok susah. Tapi geraknya jangan asal, gan. Nanti cuma dapet capek doang. Bergeraklah dengan baik dan benar. Bergeraklah dengan keren, tapi nggak usah banyak gaya. Salah satunya ya gabung di organisasi.

Gabung di organisasi juga jangan asal-asalan. Dua hal yang paling mendasar adalah kekeluargaan dan profesionalisme. Keduanya harus seimbang. Kalau nggak seimbang, nanti jatoh. Kekeluargaan penting untuk menjaga hubungan antar individu dalam suatu organisasi, siapa tau nanti ada yang jadi keluarga beneran, kan? Sedangkan profesionalisme penting untuk kinerja kita. Jika porsi kekeluargaan berlebih, kinerja bakal menurun, karena kita menganggap hanya bekerja dengan keluarga sendiri. Nggak usah serius-serius amat lah. Porsi profesionalisme juga jangan sampe berlebih. Bayangin aja kalau dalam suatu organisasi semua orang kerjanya serius banget. Pasti nggak asik banget kan? Ya nggak?

Selain dua hal tadi, yang harus kita perhatikan adalah moral value dan performance value. Moral value adalah pandangan kita tentang baik buruknya suatu hal, sedangkan performance value adalah pandangan kita apa yang akan terjadi pada diri kit ajika kita melakukan suatu hal. Nah. Pasti nggak ngerti, kan? Oke kita senasib. Namun kemudian nasib saya berubah, dan saya pun akan mengubah nasib kalian. Tapi tentunya kalian sendiri yang akan menentukan nasib kalian masing-masing.

Ambil contoh ada orang yang mau nyontek. Jika kita memandang dari sisi moral value, kita akan melihat bahwa menyontek itu nggak baik, dosa, dan lain sebagainya. Awas aja kalau ada yang punya pandangan lain. Kalau dari sisi performance value, kita bakal mikir ini, “Ah, kalau nyontek dan ketauan nanti nilaiku langsung E. Nanti gedenya jadi koruptor”. Nah, udah keliatan kan bedanya? Ya pokoknya jangan nyontek lah!

Oiya masih ada sepasang hal penting lagi yang harus disampaikan. Tuh, hal penting aja udah berpasangan, kamu kapan? (Ya, saya juga kapan ya). Dan ternyata mereka berdua adalah pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan adalah karakter, sedanglan pemimpin adalah sosok. Setiap orang harus memiliki jiwa kepemimpinan, karena setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Ya insya Allah nanti pemimpin keluarga lah. Sedangkan pemimpin (dalam artian memimpin orang-orang lain) hanya untuk sedikit orang saja, nggak perlu banyak-banyak. Lagian paling juga pada nggak mau. Liat aja kalau lagi ada pemilihan ketua kelompok. Pasti pada nunjuk-nunjuk orang lain, kan? Coba deh lain kali tunjuk diri sendiri. Pasti hidupmu akan terasa lebih indah.

Narasumber : Alian Fathira Khomaini (Ketua BEM KMFT UGM 2018)

Pergerakan Mahasiswa

Pergerakan adalah saat di mana kita melihat sesuatu yang tidak sesuai lalu kita tergugah untuk mengubahnya. Tentunya rasa ketidaksesuaian tidak akan terjadi jika seseorang tidak memiliki suatu pandangan yang pasti tentang sesuatu yang sesuai, atau biasa kita sebut idealisme. Idealisme itu lah yang menggerakkan kita untuk melakukan suatu perubahan.

Idealisme datang dari diri kita sendiri, bukan dari orang lain. Karena untuk sangat peting bagi kita untuk memahami diri kita sendiri dan juga merencanakan apa yang akan kita lakukan nantinya. Jika diibaratkan dengan metamorformosis kupu-kupu, mahasiswa pada tahun pertama dan kedua adalah seekor ulat. Tugas ulat adalah mempersiapkan dirinya agar nantinya bisa menjadi kupu-kupu yang baik. Kupu-kupu dalam artian sebenarnya dalam analogi ini ya, bukan kupu-kupu yang “itu”.

Karena tahun-tahun berikutnya adalah waktu untuk melaksanakan apa yang sudah direncanakan selama dua tahun itu. Merencanakan sesuatu memang membutuhkan pemikiran yang dalam, tapi jangan kelamaan juga. Gausah kebanyakan mikir, deh. Keburu mati. Gitu kasarnya, kawan.

Dalam melakukan perubahan kita juga membutuhkan kesempatan. Kesempatan itu pasti ada kok, tenang aja. Tinggal kamunya mau ngambil apa nggak. Udah nungguin tapi nggak dateng juga? Mungkin ide perubahanmu terlalu gila, gan. Lho, bukannya perubahan memang harusnya begitu? Hayo gimana hayo? Kalau kesempatan itu nggak mau dateng ke kamu, kamu yang harus ndatengin kesempatan itu. Jangan malu-malu gitu lah.

Mahasiswa adalah ujung tombak pergerakan. Mahasiswa adalah
Pasti juga dalam melakukan perubahan itu kamu nggak bisa sendirian. Kamu juga butuh lingkungan dan orang-orang yang mendukung perubahan itu. Nggak nemu juga? Cari! Karena pasti ada orang yang memiliki visi sama seperti kamu, dan dia pasti juga bakal mencari orang buat nemenin dia. Lalu akhirnya kalian saling menemukan. Cie.

Pergerakan itu aksi, tapi jangan sampai nggak dipikirin dulu. Jangan sampai perubahan itu cuma dipikirin terus. Bayangin perasaannya digantungin terus kayak gitu. Tapi jangan kebanyakan aksi juga. Nanti kamu capek, nanti kamu sakit, kan aku sedih :(. Jangan lupa jaga kesehatan ya, kawan. Karena sehat adalah awal dari pergerakan.

Narasumber : Retas Aqabah Amjad (Ketua BEM KMFT UGM 2015)

Pada Suatu Sore

Pada suatu sore yang tidak cerah, seusai menikmati ibadah salat asar, saya bersadar pada tembok dan memandangi sekitar. Hmm, tak ada yang spesial sore ini, gumam saya. Namun ternyata tidak demikian. Ada sesuatu yang tak biasa memantulkan cahaya mentari yang redup menuju kedua bola mata saya. Dan sepertinya dia pun merasakan hal yang sama. Inikah yang dinamakan cinta? Sosok itupun mendekatiku dan menyalamiku. Dan kawan lama pun bertemu di tengah mendungnya sore.

Berbasa-basi dan menanyakan kabar tentu merupakan hal yang biasa dan tidak asik untuk diceritakan, karena kami memang tidak melakukan hal itu. Karena kami adalah orang-orang yang asik. Entah bagaimana caranya dia bisa langsung memulai pembicaraan dengan menceritakan kehidupan barunya, di kampus barunya, yang tentu saja berbeda dengan saya.

Dia bercerita bahwa kehidupan di kampus barunya ini sangat tidak kondusif, sangat berbeda dengan kehidupan lamanya (red : kehidupan SMA-nya). Dia bercerita di kampus barunya, khususnya di angkatannya, mahasiswanya terbagi menjadi dua golongan. Golongan anak-anak olimpiade dan anak-anak non-olimpiade. Pada awalnya anak-anak olimpiade terlihat sangat superior. Dia yang bukan anak olimpiade menyadari kemampuannya kurang dan tentu saja berusaha mengejarnya. Dan dia berhasil.

Keberhasilan tentunya merupakan hal yang baik. Namun tidak demikian bagi teman-temannya –sebagian teman-temannya--. Mereka menganggap itu sebagai sebuah kecurangan. Mereka menilai kawanku ini sebagai anak yang terlalu ambisius. Contohnya seperti ini, kawanku berhasil mengerjakan suatu soal yang tidak dapat dikerjakan kebanyakan temannya. Dan ternyata materi untuk soal tersebut memang baru ada di semester yang lebih lanjut. Lalu beberapa temannya menyalahkannya karena sudah mengetahui materi tersebut.

Bukannya meminta diajari kok malah menyalahkan. Ingat, tidak semua temannya melakukan hal-hal tersebut, bahkan mungkin hanya satu orang. Kalau nggak tau ya tanya dong. Kebersamaan itu memang penting, sangat penting, karena bersamamu semuanya akan terasa lebih indah. Namun sangat disayangkan jika kebersamaan itu bukan dalam kebaikan. Jangan pula menjadi baik namun sendirian. Jika kamu baik, bawalah teman-temanmu menuju kebaikan pula. Juga jangan halangi temanmu untuk berbuat kebaikan, siapa tau nanti kamu diajak.

Dia juga menceritakan bahwa sebagian teman-temannya merasa kesulitan di matkul-matkul dasar, seperti fisika dan kimia. Padahal itu masih sangat dasar. Masih lebih susah soal SBMPTN tahun kemaren coy. Ya mungkin mereka merasakan vakum selama 3 bulan lebih dan tidak belajar sama sekali, sehingga besar kemungkinan materi-materi tersebut sudah terlupa. Apalagi bagi yang masuk melalui jalur SNMPTN. Lalu saya teringat suatu daerah di Indonesia yang 3 SMP-nya masuk peringkat 10 besar nasional untuk nilau Ujian Nasional. Tapi untuk SMA-nya? Turun ke peringkat belasan. Apa mungkin ada yang salah pada sistem pendidikan di daerah tersebut? Atau mungkin anak-anaknya yang salah? Atau anak-anaknya pindah ke daerah lain? Atau anak-anaknya pada nikah muda?

Kan lagi rame tuh sekarang kayak begituan. Daripada pacaran mending nikah aja, daripada terjebak zina gitu kan? Daripada kalau pacaran malah ngelakuin yang nggak-nggak? Mending nikah aja kan? Hayo. Banyak juga ditemui anak-anak baru lulus SMA udah nikah aja.  Kuliah sambil bawa istri, sambil bawa anak. Sampe bikin dosennya iri. Jadi keinget masa kecilku dulu. Lho? Apa yang terjadi?

Nikah itu emang asik, kawan. Siapa sih yang nggak mau nikah? Ya ada sih. Coba tanya ayah kalian masing-masing. Kalau ternyata jawabannya mau, segera kabarkan kepada ibumu, kawan. Nikah tetep aja asik, kok. Tapi ternyata nikah tidak semudah itu, kawan. Nikah itu mahal coy. Habis nikahnya maksud saya. Kalau sekarang bisa tenang ngekos sendiri, masa habis nikah mau tidur beda atap. Saya nggak pernah nemuin sih ada kost putra-putri digabung gitu. Kecuali ya, kalau nikahnya… ya gitu deh.

Ya yang pasti harus cari tempat bernaung yang baru, kan. Sayang-sayang udah nikah ngobrolnya mesti lewat hape. Ya kalau punya. Habis itu dua orang yang udah nikah tadi harus bekerja sama untuk mengurusi satu manusia lagi. Ya itu kalau nikahnya bener sih. Sesuai syariat gitu. Dan ngurusin manusia itu butuh duit coy. Ya baguslah kalau emang udah punya penghasilan sendiri. Tapi kalau belum? Pacaran yang ngurusin dua orang aja udah nyusahin orangtua, apalagi yang tiga orang, bahkan lebih. Ya mungkin orangtuanya bakal seneng-seneng aja sih ngurusin cucunya. Sambil nginget-inget anaknya waktu masih bayi dulu. Masih lucu, nggak kayak sekarang. Makanya dia disuruh nikah aja.

Lah kenapa malah jadi ngomongin nikah?

Kawanku ini juga merisaukan kehidupan berorganisasi di sana. Tak jarang kegiatan yang harus dia ikuti mesti menembus batas ruang dan waktu untuk beribadah. Dia merasa memang alur waktunya sudah diatur sedemikian rupa, padahal menurutnya ada pembagian waktu yang lebih baik. Biar nggak harus nimbus-nembus gitu.

Ya memang beberapa sholat memiliki toleransi waktu yang cukup panjang. Namun mengapa ada kegiatan yang dimulai beberapa saat sebelum memasuki waktu sholat tersebut. Baru mulai kegiatan bentar eh udah azan aja. Kenapa nggak sekalian habis sholat aja. Takut selesainya lebih lama?  Kalau emang lama ya mending sholat dulu biar aja. Udah kegiatannya lama, pulang-pulang capek, eh ketiduran. Lupa deh sama sholatnya.

Kawanku ini kalau lagi cerita biasanya nggak nyantai coy. Emosional banget. Sampe saya nggak dapet kesempatan ngomong. Pokoknya, dia ngerasa kehidupan di kampus barunya itu (agak) nggak ideal. Dan tentu saja dia pengen itu semua berubah. Bahkan dia sampai berpikir untuk mengajak teman-temannya dari jenjang pendidikan sebelumnya (red : SMA) untuk menguasai kampus tersebut. Wew gaya banget ya. Karena menurutnya kehidupannya yang dahulu sangatlah kondusif, nggak kayak sekarang. Dan hanya teman-temannya itu yang mengerti definisi kondusif yang sama dengan dirinya.

Tapi bukannya kalau gitu malah bisa bikin isu nepotisme? –Akhirnya saya dapat kesempatan ngomong--. Terus juga untuk mengubah semua itu dibutuhkan waktu yang nggak sebentar. Biasa banget ya kata-kata kayak gini. Saya pernah dibilangin kayak gini, “Kalau kamu masuk ke suatu tempat dan kamu merasa sistem di sana tidak ideal, dan kamu ingin mengubahnya. Yang harus kamu lakukan adalah ikuti sistemnya, walaupun kamu nggak suka. Tempati posisi yang strategis, lalu ubah sistemnya.”

Hal itu tentunya sulit untuk dilakukan. Orang ngomongnya saja enak, dan ndengerinnya enak juga sih. Tapi ternyata tidak semudah itu, kawan. Karena hampir dapat dipastikan akan banyak yang menentang gagasan untuk mengubah sistem tersebut. Udah susah-susah dibuat dan dijalanin bertahun-tahun, enak aja kamu baru masuk bentar terus punya jabatan mau ngubah-ngubah.

Tentunya doktrin-doktrin dari para pendahulu masih membekas di pikiran kebanyakan orang. Dan yang bisa kamu doktrin dengan gagasanmu adalah orang-orang yang baru saja masuk. Tapi ingat, bukan hanya kamu saja yang bisa mendoktrin mereka. Ya mungkin ada dikit-dikit lah yang nyantol sama pemikiranmu. Tapi mayoritas masih berpihak pada gagasan lama. Ya mungkin aja pemeluk gagasan baru bisa berangsur-angsur meningkat. Tapi itu lama banget coy. Lamaaa banget. Kayak ceritanya kawanku ini yang nggak selesai-selesai.

Sore pun semakin larut. Tapi mulutnya masih belum kelihatan capek buat cerita. Daripada kelamaan, saya pun mengeluarkan teknik jitu , “Eh, kamu nggak ada urusan apa-apa habis ini?”. Dan ternyata memang benar seharusnya sekarang dia berada di tempat lain. Pada akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkanku. Saat aku baru saja ingin mengatakan, “Kawan, kita memiliki keresahan yang sama.”
.
.
.
.
Nggak deng, di tempatku masih mendingan.





Kamis, 24 November 2016

Kesiapan Indonesia Menghadapi MEA

Beberapa waktu yang lalu Indonesia baru saja menghadapi Thailand, dan akhirnya kalah. Sekarang Indonesia harus menghadapi MEA. Mungkinkah Indonesia akan kalah lagi? Oh, ini tidak bisa dibiarkan. Indonesia tentunya harus mempersiapkan diri.

Dengan berlakunya MEA, barang-barang dari luar akan bebas masuk ke Indonesia. Ya, itu memang berarti barang-barang dari Indonesia dapat masuk ke negara lain (ASEAN) secara bebas. Namun sanggupkah barang-barang dari Indonesia tersebut bersaing dengan produk luar bagi di dalam maupun di luar negeri?

Untuk memenangkan persaingan, Indonesia tentunya harus meningkatkan kualitas produk-produknya dan juga kualitas SDMnya. Kecintaan terhadap produk lokal juga harus ditingkatkan. Namun kembali lagi, untuk apa kita menggunakan produk lokal jika produk luar masih lebih baik.

Indonesia telah mulai meningkatkan kualitas produksinya. Contohnya lewat pembangunan infrastruktur, pengembangan SDM, dan program ACI (Aku Cinta Indonesia). Jika ditanya apakah Indonesia sudah siap menghadapi MEA, maka jawabannya adalah belum. Ya, namanya juga masih persiapan....

Selasa, 22 November 2016

Relevansi GNB Masa Kini

GNB atau Gerakan Non-Blok adalah suatu organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara yang menyatakan tidak beraliansi dengan blok kekuatan besar manapun. Diprakarsai oleh Indonesia, Yugoslavia, India, Ghana, dan Mesir. Bermula dari Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955, terbentuklah GNB atau Gerakan Non-Blok.

GNB memang masih ada sampai sekarang. Namun apakah keberadaan GNB masih berpengaruh pada masa sekarang? Tujuan awal terbentuknya GNB adalah untuk meredakan perang dingin. Walau akhirnya berkembang menjadi kerjasama antarbangsa di bidang lainnya.

Perang dingin telah berakhir pada tahun 1991, namun Gerakan Non-Blok masih ada sampai sekarang. Lalu untuk apa keberadaan GNB di saat Blok Barat dan Blok Timur sudah tidak ada lagi?

Kembali ke pengertian GNB sendiri. Sesuai namanya, GNB adalah sebuah gerakan yang tidak memihak kepada siapapun pihak yang sedang berseteru. Perang dingin antara blok barat dan timur memang sudah berakhir, namun itu tidak berarti tidak akan ada lagi pihak yang berseteru di dunia ini, dalam konteks ini negara atau kumpulan negara.

Lagipula, jika melihat prinsip-prinsip dasar yang diterapkan GNB kurang lebih isinya adalah mewujudkan dunia yang damai dan memajukan kesejahteraan.

Jadi, keberadaan GNB masih relevan untuk keadaan masa sekarang yang terjadi banyak tantangan global.


sumber

Selasa, 08 November 2016

Reformasi

Kita dapat mengartikan reformasi dengan memenggal katanya. Re, dalam beberapa bahasa dapat berarti perulangan, mengulang dan sejenisnya. Formasi, kata dasarnya "form" yang berarti membentuk, menata atau menyusun. Jadi reformasi dapat diartikan "Menata ulang" atau "Tatanan ulang". Jadi reformasi disini ada suatu bentuk peristiwa.

Telah terjadi beberapa bentuk reformasi di dunia, saya akan mengambil yang paling dekat dengan kita, reformasi 1998. Reformasi disini sering merujuk pada demo besar-besaran oleh para mahasiswa yang menuntut Soeharto untuk turun. Reformasi 1998 ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, sehingga kekuasaan Orde Baru saat itu jatuh. Habibie pun menggantikan Soeharto sebagai presiden. 

Habibie mewarisi kondisi negara yang kacau. Kasian ya? Tapi, Pak Habibie berhasil kok mengeluarkan Indonesia dari kekacauan waktu itu. Ya, kira-kira itulah yang dibahasakan orang-orang sebagai "Reformasi".

Dampak Reformasi

Setiap peristiwa pasti menghasilkan dampak tertentu, baik positif maupun negatif..

Sisi positif dari Reformasi salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Jika pada masa Orde Baru kebebasan berpendapat sangat dibatasi, pada pemerintahan Habibie, orang-orang bisa kembali bebas untuk berpendapat. Bukti kongkritnya adalah diselenggarakannya pemilu pada 1999.

Sebagai imbasnya adalah kebebasan yang kelewatan. Karena sudah dibebaskan untuk berpendapat, beberapa orang menanggapinya dengan berlebihan, sehingga timbul berbagai kekacauan. Bisa kita ambil contoh konflik-konflik yang terjadi di Maluku, Poso, Sambas, dan Sampit.


Bagi orang-orang yang masih normal kebebasan berpendapat memang suatu kebutuhan. Apa jadinya negara demokrasi tanpa kebebasan berpendapat? Namun jika kebebasan tersebut jatuh ke tangan yang salah, kekacauan akan menjadi suatu hal yang pasti.Jadi, boleh bebas, asal jangan bablas!


Minggu, 04 September 2016

Keteladanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Siapa yang tak kenal Sri Sultan Hamengkubuwono IX? Sri Sultan HB IX, merupakan tokoh yang cukup terkenal dan  kharismatik. Jasanya bukan hanya kepada warga yogyakarta namun juga bagi bangsa lndonesia. Satu hal yang sangat penting adalah ketika beliau menyatakan dengan maklumat bahwa wilayahnya, kesultanan ngayogyakarta sebagai bagian dari republik lndonesia, dengan status daerah istemewa. Begitu banyak hal yang bisa kita teladani dari beliau. Contohnya,,,

1. Selesai Sebelum Memulai

Pemimpin sejati adalah orang yang telah selesai dengan segala urusan pribadinya sebelum dia mengurusi rakyatnya. Melihat sosok beliau yang tenang, rendah hati, dan bebas dari ego duniawi rasanya tidak berlebihan jika memasukkan beliau dalam kategori ini. Figur dengan kriteria tersebut belakangan sangat jarang kita jumpai berada dalam lingkaran penguasa negeri kita ini.

2. Totalitas

Tidak ada yang bisa menyangkal totalitas Sri Sultan HB IX ketika memimpin. Contohnya ketika beliau menghibahkan 6 juta gulden untuk membiayai pemerintahan Indonesia yang masih “bayi” ketika itu. Tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa jika bukan karena Sri Sultan Hamengkubuwono IX, barangkali Republik Indonesia ketika itu bisa saja “mati muda”.

3. Sederhana

Sosok raja yang biasa digambarkan sebagai orang yang hidup bermewah-mewahan dan selalu dilayani oleh para pelayannya sama sekali tidak tampak pada pribadi Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan dalam berbagai sumber banyak dikisahkan ketika beliau menonton pertandingan sepak bola di Lapangan Kridosono menggunakan kaos kaki yang berlubang dan longgar. Sangat berbeda dengan penguasa kita yang gemar mengkapanyekan pola hidup sederhana sedang dirinya sendiri tenggelam dalam gemerlap kemewahan yang nyata.

Ketiga sifat diatas mungkin cukup untuk menggambarkan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau patut diberi gelar sebagai pahlawan nasional atas jasanya mempertahankan negara ini dan juga kepribadian luhur yang tertanam pada diri beliau.